GENDER
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: REPLIANIS
Dosen Pengampu: Dr. MAISAH, M. Pd. I
Di seminarkan : 19 September 2012
IAIN PASCA SARJANA SULTHAN THAHA JAMBI
A. Latar Belakang
1. Pendahuluan
Dokumen monumental mengenai gender telah
dilahirkan pada tahun 1948 dalam Universal Deklaration of Human Right,
yang mana dokumen tersebut menyatakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan
itu adalah sama dan setara didalam harkat dan haknya.[1]
Seiring dengan itu Indonesia telah melaksanakan berbagai komvensi PBB dalam
bebagai kebijakan publik yang berupa undang-undang dan peraturan seperti, UU
No. 7 tahun 1984, UU No. 34 tahun 1999, UU No. 23 tahun 2004, dan instruksi
presiden No. 9 tahun 2000.
Masalah gender dalam
beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia telah mencuat ke
permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini mengabaikan perempuan
digugat. Kesalahan prespektif
terhadap konsep didalam islam telah sampai kepada pembahasan perempuan yang
sebagian kalangan masih dianggap tabu.[2] Dalam penafsiran ayat
Al-Qur’an dan hadis rasul terjadi perbedaan pendapat antara mufasir klasik dan
mufasir kontemporer.[3]
dengan adanya perbedaan pemahaman tersebut kaum perempuan merasa dirugikan
Ketidak-adilan gender timbul dikarenakan
adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia
dalam berbagai bentuknya yang tidak
hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki, walau secara menyeluruh ketidak-adilan gender
dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan. Diantara
ketidak adilan gender adalah pelebelan negatif yang diberikan kepada wanita (Stereotype),
kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, beban ganda yang
diberlakukan kepada perempuan, peminggiran, penomorduaan. Masih banyak hal yang
harus diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan terutama anggapan
kaum laki-laki lebih utama daripada kaum perempuan.
Sejarah telah
menginformasikan bahwa sebelum diturunkannya kitab suci Alquran perempuan tidak mendapat keadilan sama sekali, perempuan anggap seperti
instrumen, dijual. Dijadikan sebagai pemenuhan seks, dan dijadikan sesajen
serta dibakar hidup-hidup. Alquran, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan
ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya,
laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan
Alquran untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta
bani adam[4]. Masing-masing kata ini merujuk makhluk
ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), dan Allah tidak membedakan antara laki-laki dan
wanita, yang membedakan adalah amal dan ibadah mereka.
2. Isu-isu Gender
- Berikut ini adalah rekaman diskusi gender di gedung Parlemen RI. pada tanggal 28 Mei 2012. Dr. Ir. Euis Sunarti, adalah Dosen IPB di Departemen Ekologi Manusia, Beliau adalah salah satu pakar gender terbaik di Indonesia yang sanggup memetakan analisis gender ini dalam konteks dampak negatifnya terhadap ketahanan institusi keluarga. Oleh sebab itulah, Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) mengundang beliau untuk menjadi narasumber dalam kajian-kajian gender di internal MIUMI.
- Di awal paparan yang berdurasi kurang dari 4 menit di gedung Parlemen RI Bu euis menyatakan, "Kami cukup galau akhir–akhir ini, melihat kualitas akademik mahasiswa laki–laki dibanding perempuan. Ternyata Mahasiswi jauh lebih beprestasi dibanding dengan Mahasiswa 8 (delapan) dari lulusan terbaik perguruan tinggi terbaik di Indonesia adalah perempuan.
- Kemudian ada satu lagi yang menarik, katanya DEPAG juga sangat risau dengan peningkatan laju perceraian saat ini, dimana 60% kasus perceraian adalah inisiatif perempuan. Jadi dengan powerfull perempuan cukup punya nyali untuk lebih banyak menggugat cerai, padahal kita tahu dampak perceraian terhadap kualitas individu dan anak.[5]
- JAKARTA, KOMPAS.com – Selasa, 13 November 2012 | 19:46 WIB
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengklarifikasi ke
publik, terkait pernyataannya tentang kasus perkosaan siswa di Depok yang
dipublikasikan di salah satu media massa. Komnas Perempuan menilai pernyataan
itu melukai rasa keadilan bagi perempuan korban perkosaan, keluarga, para anak
didik dan orang tua, maupun masyarakat. Padahal, Komnas Perempuan tengah
berupaya mendorong kurikulum HAM berperspektif gender di lembaga pendidikan.
2. Ketidak adilan Gender
a. Pelebelan Negatif Pada Perempuan (Stereotype)
Semua bentuk
ketidakadilan gender yang berpangkal pada satu sumber kekeliruan, yaitu
stereotype gender laki-laki dan perempuan. Stereotype itu sendiri berarti
pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang
didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya
dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan
untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Pelabelan
juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang
yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negative
juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan
negative ditimpakan kepada perempuan. Contoh :
- · Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
- · Perempuan tidak rasional, emosional.
- · Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
- · Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
- · Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.[6]
b. Kekerasan
Kekerasan
(violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga,
masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah
membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan
laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis,
seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya
perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter
tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu
lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa
tindakan kekerasan. Contoh : Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan
oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
- · Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
- · Pelecehan seksual.
- · Perdagangan perempuan
- · Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
- · Korban Poligmi/nikah siri, tampa sepengetahuan istri
- Beban ganda (bebean yang berlebihan)
Beban ganda (double burden)
artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak
dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali
dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah
perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan
berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan
mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain,
seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun
demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya
mereka mengalami beban yang berlipat ganda. [7]
d. Peminggiran (Marginalisasi)
Marginalisasi artinya
: suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan
kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau
kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya
dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka
ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan
anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung
proses pemiskinan dengan alasan gender. Contoh :
- Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
- Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
- Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.[8]
e. Penomor Duaan (Subordinasi)
Subordinasi
Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh
satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.Telah diketahui, nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran
gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan
memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam
urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan
domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan
produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi
public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan
reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula
ketidakadilan masih berlangsung. Contoh :
- Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.
- Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
- Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif ).[9]
B. Pembahasan
1.
Pengertian Gender
Kata
“gender” berasal dari bahasa Inggeris “gender”, dalam Kamus
Bahasa Inggeris-Indonesia, berarti
“jenis kelamin”.[10]
Sedangkan dalam gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.[11] Merujuk pada penjelasan
pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana juga
yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, jender da[at diartikan sebagai
berikut:
Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan
tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena
dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah
dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang). Gender
adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-jawab laki-laki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan
budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga
dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.[12]
Gender bukanlah kodrat dan ketentuan
Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh ketentuan sosial
dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain,
gender adalah pembedaan peran dan tanggung-jawab antar perempuan dan
laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
|
Kata gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme.[13]
gender diartikan sebagai kelompok
atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau
perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah
terjadi melalui proses panjang.[14] Mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan
oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat,
bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki
danperempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi
masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidak adilan
terhadap jenis kelamin tertentu. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan
pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan,
tingkah laku danpersepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial.[15]
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan:
Gender adalah
Perberbedaan antara laki-laki dengan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku, bukan kodrat dan ketentuan Tuhan, dapat diubah sesuai kebutuhan atau perubahan
zaman (menurut waktu dan ruang) sosial dan budaya masyaraka.
2. Gendwer Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Sebelum menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap gender, perlu
dikemukakan terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara umum terhadap
perempuan, terutama sebelum turunnya kitab suci Alquran.
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum diturunkannya kitab
suci Alquran, berbagai peradaban umat
manusia telah berkembang sedemikian
rupa, seperti halnya peradaban bangsa Yunani, Romawi, India, Cina dan yang
lainnya. Dan juga sebelum datangnya agama Islam, telah datang terlebih dahulu
berbagai agama, seperti agama Zoroaster, Buddha, dan yang paling belakangan
adalah agama Yahudi dan Nasrani.[16]
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan
yang adil, karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum
laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera
tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang
terlihat dewasa ini di Eropa adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan
itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan
perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin,
kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual,
mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada
abad 5
Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang
laki-laki. Pada zaman Kaisar Konstantin, terjadi sedikit
perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga
(suami/ayah).
Peradaban Hindu dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi
seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya,
istri terkadang harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Pada masyarakat
hindu wanita sering dijadikan sesajen untuk para Dewa. Tradisi ini baru
berakhir pada abad 17 Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap
sangat memperihatinkan, sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggeris
masih mengakui hak suami untuk menjual istrinya, bahkan sampai dengan tahun
1882 perempuan Inggeris belum lagi mempunyai hak kepemilikan harta benda secara
penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan. [17]
dan apabila seseorang dari mereka diberi
kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan
Dia sangat marah.(QS. An-Nahl. 58)
karena dosa Apakah Dia dibunuh, (QS.at-Takwir (81): 9)
Demikian secara ringkas pola kehidupan sebelum turunnya
agama Islam, selanjutnya akan ditelaah ayat-ayat Alquran dan pemahamannya,
terutama yang menyangkut masalah gender. Bahwa agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan berhasil
meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya
tidak menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam
diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan
sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggung jawabnya yang
adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa
berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda dan
diskriminatif, juga telah menjadi
catatan historis dan kajian para ahli. [18]
Alquran, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan
ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya,
laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan
Alquran untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta
bani adam[19]. Masing-masing kata ini merujuk makhluk
ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi
untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin), namun
dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan
perempuan.
Mengenai asal kejadian manusia, Alquran menyatakan dalam surah
An-Nisa’(4): 1, sebagai berikut:
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.( An-Nisa’(4): 1).[20]
Dalam penafsiran ayat ini terjadi perbedaan
antara mufasir klasik dan mufasir kontemporer. Perbedaan pendapat para mufasir tentang
penciptaan perempuan, terletak dalam memahami kata nafs. Mufasir klasik
memahami kata nafs sebagai Adam. Mereka memahami kata zaujaha (harfiyahnya
adalah ―pasangan), mengacu kepada istri Adam yaitu Hawa. Mengingat ayat
tersebut menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang
berarti Adam, maka para mufasir klasik menafsirkan istri Adam (perempuan)
diciptakan dari Adam sendiri.[21] Cara
pandang ini kemudian menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan, karena
perempuan berasal dari laki-laki, sehingga ia tidak bisa sejajar dengan laki-laki.
Hal ini tentunya merupakan penafsiran yang merugikan gerakan gender yang
menuntut adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.[22]
Beberapa
pakar tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh dalam itab al-Manâr-nya,
tidak sependapat dengan kalangan mufasirîn terdahulu. Abduh memahmi nafs
itu dengan jenis. Sedangkan menurut al-Thabaththabai, surah Al-Nisâ’ (4)
ayat 1 menegaskan bahwa perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam,
dan pendapatnya itu tidak mendukung sama sekali pendapat-pendapat mufasirîn masa
lalu yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sejalan
dengan itu, Rashid Rida menyatakan ide semacam ini sama dengan apa yang
terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama yang menyatakan Tuhan mencabut tulang
rusuk Adam dan membalutnya dengan daging yang kemudian dibuat seorang
perempuan. Ide penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak berbeda dengan
cerita-cerita israiliyyat yang bersumber dari agama samawi sebelumnya,
Yahudi dan Kristen. Ada asumsi teologis yang menyebabkan munculnya
ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam agama samawi tersebut: (1) bahwa
ciptaan yang utama adalah laki-laki dan bukan perempuan, karena perempuan
diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam (2) perempuan adalah penyebab utama kajatuhan
dan pengusiran manusia dari surga Aden. Karena itu, anak perempuan (Hawa) harus
dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik; dan (3) perempuan tidak hanya
dari laki-laki tetapi juga untuk laki-laki sehingga keberadaannya bersifat
istrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Didalam Alquran, tidak ada satu ayat pun yang
mendukung pendapat yang menyatakan bahwa asal kejadian perempuan dari tulang
rusuk laki-laki, bahkan Alquran mendukung prinsip kesamaan dan kesetaraan di hadapan
Tuhan dengan menekankan unsur-unsur persamaan dalam kejadian Adam dan Hawa
(perempuan). [23] seperti dalam
Alquran surah Al-Isrâ’ (17):70:
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami memuliakan anak-anak
Adam, Kami mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk
yang diciptakan (Departemen Agma RI : 1989: 435)angkut mereka di daratan
dan di lautan (untuk memudahkan mereka (Al-Isrâ’ (17):70).
Dalam surah Âli Imrân (3): 195 disebutkan
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…(Departemen Agama RI, 1989:110).
Perbedaan
penafsiran tersebut, kadang disebabkan tingkat pemahaman mufasir yang berbeda.
Selain dipengaruhi pula oleh latar belakang geografis dan budaya.[24] Mengingat tradisi bahasa Arab di atas, Alquran merasa penting untuk
mengulang-ulang kedua bentuk (maskulin dan feminin) secara berpasangan untuk
menekankan kesetaraan pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan,
disebutkan dalam QS. al-Ahzab (33):35, sebagai berikut:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukminlaki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah
orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang
dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa
yang harus dibenarkan dengan hatinya.
Berbicara mengenai prinsip-prinsip kesadaran
gender dalam perspektif Islam, setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima)
variable yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci
Alquran memberitakan. Kelima variable tersebut masing-masing: laki-laki &
perempuan sama2 sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di muka bumi, sebagai
yang menerima perjanjian/sama berikrar akan keberadaan Allah, sebagai hamba yang punya
tanggung-jawab, dan sebagai yang berpotensi meraih prestasi.[25] Alquran
menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah
kepadaTuhan. Penjelasan ini dapat dibaca dalam QS. Az-Zariyat (51): 56, sebagai
berikut:
dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.QS. Az-Zariyat (51): 56
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran biasa diistilahkan dengan
orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun
ini tidak dikenal adanya perbedaan
jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang sebgaimana disaebutkan
dalam QS Al-Hujurat (49): 13 diatas
tadi, Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan
perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan
kadar pengabdiannya, sebagaimana
disebutkan dalam QS. An-Nahl (16): 97, sebagai berikut:
Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan
dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
dan
bayak lagi Ayat Alquran yang dengan tegas melihat kesejajaran kaum wanita
dengan kaum pria diantaranya adalah QS.
al-Lail (92): 3-10 yang menyebut kaum pria dan wanita dalam qasam(sumpah)
yang merupakan bukti (qarīnat) bahwa Allah melihat persamaan antara
keduanya. Ayat-ayat
tersebut mengisyaratkan bahwa perbedaan manusia hanya terletakpada aksinya,
apakah baik atau buruk, dengan tidak melihat jenis kelaminnya. Ayattersebut
juga merupakan deklarasi Alquran pertama terhadap prinsip taklīf baik pria maupun wanita dalam
persoalan dunia dan agama; juga merupakan prinsip balasan bagi usaha dari pria dan wanita
berdasarkan aktivitas kerja mereka; dan merupakanpendeklarasian persamaan
antara pria dan wanita dalam kecenderungan untuk melakukanaktivitas.[26]
Studi
yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap Alquran menunjukkan adanya kesetaraan
gender. Dia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni: 1)
Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat misalnya
dalam QS. al-Hujurāt (49): 13 dan al-Nahl
(16): 97; 2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat
dalam QS. al-Baqarat (2): 30 dan al-An’ām (6): 165; 3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti
terlihat dalam QS. al-A’rāf (7): 172; 4) Adam dan
Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam QS.
al-Baqarat (2): 35 dan 187, al-A’rāf (7): 20, 22, dan 23; dan
5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat
dalam QS. Āli ‘Imrān (3): 195, al-Nisā’ (4): 124, al-Nahl (16): 97, dan al-Mu’min (40): 40.[27]
Jamâl al-Dîn Muhammad
Mahmûd, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa tidak ditemukan
satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan
dalam bidang politik atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya
pada kaum laki-laki. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan
terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali. Alquran
menguraikan permintaan para perempuan di zaman nabi untuk melakukan bay‟ah (janji setia kepada nabi
dan ajarannya), sebagaimana disebut dalam Alquran surah al-Mumtahanah (60): 12:
Terjemahnya : Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan
dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka dan mohonlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Departemen Agama RI,
1989:925).[28]
Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesadaran gender
yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam
bidang spiritual maupun urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh
salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan
yang sama meraih prestasi optimal.
Salah satu obsesi Alquran ialah terwujudnya keadilan di dalam
masyarakat. Keadilan dalam Alquran mencakup segala segi kehidupan umat manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Alquran
tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis,
warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis
kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas
atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan
penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
ayat-ayat di atas memberikan informasi
bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan
substansi antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun antara keduanya mempunyai
perbedaan maka substansi perbedaannya tidak pernah ditonjolkan. Ini
mengisyaratkan bahwa Alquran mempunyai pandangan yang cukup positif terhadap
perempuan.[29]
Jika demikian halnya, mengapa terjadi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan? Mengapa terjadi ketidak adilan gender atau diskriminasi terhadap
perempuan, dan kenapa disebut bahwa perempuan itu sebagai manusia kelas dua ?
Konon juga paham yang demikian itu bersumber dari ajaran Islam ?
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar
peradaban Islam didasarkan atas kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga
keluarga yang dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan keluhuran (mu’asyarah bi
al-ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Nabi Muhammad SAW. mengangkat derajat perempuan dengan memperkuat landasan
teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang berkembang serta
menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam kebijakan pemerintahannya.
Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang
dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.
Jika demikian halnya mengapa ada dalam Alquran ayat-ayat yang
membedakan perlakuan terhadap perempuan? Untuk mengawali, patut diingat bahwa
‘membedakan’ perlakuan bukan berarti memperlakukan seorang secara tidak
adil. Keadilan (justice) tidaklah
identik dengan persamaan (equality).
Dalam kajian filsafat, jauh sebelum Islam, Aristoteles sudah mengulas
konsep keadilan yang dapat disimpulkan pada prinsip “memperlakukan mereka yang
sama secara sama”. Sama dan beda dari segi
apa? Apakah yang mempersamakan dan memperbedakan satu orang dari yang
lain? Memperlakukan mereka yang sama
secara berbeda tentu ketidak-adilan. Namun jika mereka memang tidak sama, malah
jika diperlakukan sama maka ketidak-adilan yang terjadi. Atau, mereka yang sama
diperlakukan berbeda tentu kezaliman yang muncul. Yang menjadi pertanyaan sekarang: apakah
laki-laki dan perempuan ‘sama’, hingga harus diperlakukan ‘sama’, atau mereka
berbeda hingga mesti diperlakukan berbeda, atau laki-laki dan perempuan
memiliki banyak persamaan, tetapi juga berbagai perbedaan. Kalau begitu mereka
harus diperlakukan secara sama dalam aspek-aspek yang mereka sama, serta mesti
diperlakukan berbeda, aspek-aspek yang memang mereka berbeda.
Perbedaan
yang cukup gamblang adalah masalah perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan
terkait dengan nilai kesaksian (dan porsi kewarisan QS. an-Nisa’(4): 11 dan
176). Masalah lain yang juga tidak
sejalan dengan prinsip kesetaraan adalah kedudukan suami isteri dalam rumah
tangga, tentang apa yang dimaksud dengan ‘kepala keluarga’ umumnya
didasarkan pada QS. An-Nisa’ (4): 34, sebagai berikut:
kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[30]
Dan di ikuti dengan Hadis yang menyatakan
Telah menyampaikan kepada kami „Uthmân bin al-Haitam, („Uthmân bin al-Haitam) berkata, telah menyampaikan
kepada kami „Auf dari Hasan bin Abîi Bakrah, dia
berkata : Sungguh Allah telah memberi petunjuk kepadaku, suatu perkataan yang
aku dengar dari Rasulullah saw., (berita tentang penduduk Persia) yang
menyerahkan kekuasaan kepada puteri kaisarnya (mengangkat-nya sebagai Raja
pengganti Bapaknya). Rasulullah saw., bersabda: Tidak akan sukses suatu bangsa
yang menyerahkan urusan kenegaraannya kepada perempuan (HR. Bukhari, Juz 2,
t.th.: 192).
Wanita
yang saleh tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia
dan harta suaminya. Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli
isterinya dengan baik. Nusyuz: Yaitu
meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz (wanita yang bersikap sombong
terhadap suami) dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya. Allah menerangkan cara seorang suami untuk memberi pelajaran kepada
isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat,
bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur, bila tidak
bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan
cara yang lain dan seterusnya.[31]
Sebagai
istri perempuan menerima sambutan hangat semua keluarga dan diatas segalanya,
menerima cinta kasih dari suami, Islam mengakui adanya perbedaan biologis dan psikologis
antara laki-laki dan permpuan. Oleh karena itu islam merumuskan hak-hak dan
kewajiban mereka sesuai dengan karekter fisik dan mental masing-masing, hak-hak
seorang perempuan didasarkan atas 3 prinsif berikut: [32]
1)
Otoritas yang diberikan kepada seorang laki-laki
untuk memelihara ketertiban hidup keluarga tidak boleh disalah gunakan agar
hubungan sang pengatur (suami sebagai pemimpin) dan yang diaur tidak berubah
antara tuan dan budaknya
2) Memberikan
perempuan untuk menggunakan kesempatan yang Mungkinkan mereka mengembangkan kemampuan alami sampai titik maksimal dalam
kerangka kehidupan sosial, sehingga mereka dapat memainkan peran yang aktif
dalam pembangunan peradaban manusia
3) Memberikan kemungkinan kepada
perempuan agar mampu meraih kedudukan setinggi mungkin sesuai dengan kodratnya.
Menjadi lelaki bukanlah haknya, tidak baik bagi masyarakat Jika perempuan dilatih untuk memasuki dunia
laki-laki. Perempuanpun tidak dapat berhasil dalam dunia laki-laki.[33]
Tanpa harus masuk dalam kompleksitas penafsiran dan re-interpretasi
terhadap ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya, ada dua hal pokok yang patut
dicermati. Pertama, Alquran sebagai wahyu Allah merupakan hal yang sakral dan
absolut, namun pemahaman, interpretasi dan penjabarannya merupakan hasil jerih
payah para ulama. Yang kedua, ajaran Islam, karena bersumber dari Allah Yang
Maha Tahu dan Bijak, tentu seyogianya merupakan suatu kesatuan antara satu
dengan lain. Dari sisi inilah, beberapa penafsir berupaya menyaring
prinsip-prinsip pokok serta menghimpun nilai-nilai dasar ajaran Islam yang
bersifat universal dan permanen, yang harus dipilah dari ketentuan-ketentuan
yang bersifat temporal dan situasional yang terkait dengan tuntutan ruang dan
waktu.
Hal inilah yang dilakukan para ulama kita di negeri ini. Mereka
telah berijtihad baik secara perorangan maupun jama’ah untuk menemukan prinsip
dan nilai tersebut, serta menjabarkan dan menerapkannya di bumi Indonesia pada
masa kini. Berbagai penafsiran ulang dan perumusan baru diperkenalkan. Sekedar
memperkenalkan salah satunya yang mungkin sering terlupakan, yaitu perlakukan
terhadap lembaga perkawinan dan relasi timbal-balik suami-isteri yang setelah
dikaji ternyata lembaga perkawinan dalam budaya Indonesia jauh berbeda dengan
lembaga yang sama di jazirah Arab di masa lalu, ketika kitab-kitab fiqh klasik
ditulis. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
telah merumuskan bahwa lembaga perkawinan yang lebih kemitraan, serta
mensejajarkannya seperti syirkah (kerjasama), hingga harta-kekayaan yang
terwujud di dalamnya menjadi milik bersama suami-isteri, sehingga jika,
sekiranya, suami meninggal dunia, isteri berhak terlebih dahulu separoh (50%)
dari harta perkawinan (gono-gini), barulah setelahnya isteri berhak menerima.[34]
Untuk memosisikan wanita dalam posisi yang sebenarnya
– sebagaimana yang ditegaskan oleh Alquran – maka perlu dilakukan kajian ulang
terhadap hadis-hadis yang misoginis, yakni hadis-hadis yang isinya merendahkan
perempuan, sehingga memperlihatkan adanya ketimpangan gender antara laki-laki
dan perempuan.[35] Kritik
terhadap hadis-hadis yang misoginis tidak hanya dalam hal sanadanya, tetapi juga dalam
hal matannya. Jika ditelusuri hadis-hadis yang misoginis tersebut, ternyata
sebagiannya adalah hadis-hadis yang shahih. Sebagai contoh adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari yang isinya bahwa kebanyakan wanita adalah
penghuni neraka, kemudian hadis shahih lainnya yang juga diriwayatkan
al-Bukhari yang menegaskan bahwa akal dan agama wanita itu separo akal dan
agama pria, hadis yang diriwayatkan al-Bukhari tentang penciptaan wanita dari
tulang rusuk pria yang bengkok, dan juga hadis yang diriwayatkan al-Bukhari
tentang ketidakberhasilan suatu negara yang dipimpin oleh wanita. Terhadap
hadis-hadis shahih seperti itu, yang harus dilakukan adalah mengkritisinya
melalui jalur matan, yakni dengan mengkaji ulang makna yang ada di balik bunyi
teks hadis tersebut dan menyesuaikannya dengan konteks yang terjadi di saat
teks itu muncul. Artinya, untuk mendapatkan makna yang lebih tepat dari
hadishadis tersebut, perlu diperhatikan asbabulwurud-nya, sehingga dapat
diungkap mengapa Nabi Muhammad Saw. bersabda
demikian.
Hadis-hadis yang memiliki makna yang bertentangan
dengan Alquran seperti hadis-hadis misoginis di atas harus dipahami ulang
(direinterpretasi), sehingga pemahamannya tidak bertentangan dengan ketentuan
yang ada dalam Alquran. Riffat Hasan mengajak para wanita Muslim sadar bahwa
sejarah penundukan dan penghinaan kaum wanita di tangan kaum pria bermula dari
sejarah penciptaan Hawa sep erti dalam hadis-hadis tersebut. Bahkan Riffat juga
berani mengajak kaum wanita Muslim menentang otentisitas hadis yang membuat
mereka secara ontologis inferior, subordinatif, dan bengkok.14 Kalau hadis-hadis itu dari segi
kualitasnya shahih, maka harus dipegangi sebagai pesan Nabi. Yang perlu
diupayakan adalah bagaimana hadis-hadis itu tidak bertentangan dengan Alquran
yang mengusung kesetaraan gender. Hadis-hadis Nabi memiliki semangat yang sama
dengan Alquran yang menempatkan wanita pada posisi sewajarnya yang seimbang dan
setara dengan posisi pria. Kalau selama ini hadis-hadis itu terkesan
diskriminatif, karena hadis-hadis itu lebih difahami secara harfiah dan
didukung oleh budaya dan tradisi yang patriarkhi. Hadis-hadis itu haruslah
dipahami secara majazi (metaforis) dan harus ditafsirkan secara kontekstual,
sehingga benar-benar melahirkan makna yang lebih adil dan menjunjung persamaan
di antara kedua jenis manusia.[36]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Islam
sebenarnya sama sekali tidak menempatkan kedudukan wanita berada di bawah
kedudukan pria. Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan
gender. Kalaulah selama ini kita memahami adanya ketidak adilan dalam Islam
ketika memosisikan wanita dan pria dalam hukum, adalah karena warisan pemahaman
Islam (fikih) dari para tokoh Muslim tradisional yang diperkuat oleh
justifikasi agama. Oleh karena itu, kaum feminis Muslim bersepakat untuk
mengadakan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh
mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara pria dan
wanita yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan dengan
jalan menafsirkan kembali teks-teks Alquran maupun hadis yang berkaitan dengan
wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang
merendahkan derajat wanita).
III. Kesimpulan
Gender adalah Perberbedaan antara
laki-laki dengan perempuan dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku, dapat diubah sesuai kebutuhan atau
perubahan zaman (menurut waktu dan ruang) sosial dan budaya masyarakat. Dokumen monumental mengenai gender
telah dilahirkan pada tahun 1948 dalam Universal Deklaration of Human
Right, yang mana dokumen tersebut menyatakan bahwa setiap manusia yang
dilahirkan itu adalah sama dan setara didalam harkat dan haknya.[37]
Seiring dengan itu Indonesia telah melaksanakan berbagai komvensi PBB dalam
bebagai kebijakan publik yang berupa undang-undang dan peraturan seperti, UU
No. 7 tahun 1984, UU No. 34 tahun 1999, UU No. 23 tahun 2004, dan instruksi
presiden No. 9 tahun 2000.
Ketidak adilan gender adalah
1). stereotype Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas
dasar anggapan gender 2). Kekerasan
(violence) artinya tindak
kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis
kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis
kelamin lainnya 3) beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah
satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya 4). Peminggiran
(Marginalisasi) suatu proses peminggiran
akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan 5) Subordinasi
suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis
kelamin lebih rendah dari yang lain.
Sebelum datangnya agama islam perempuan
ditindas oleh kaum laki-laki mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu Seks
laki-laki, laki-laki diberi kebebasan untuk itu, perempuan berada dibawah
kekuasaan laki-laki mereka di siksa,
diusir, dibakar, dibunuh dan bahkan di kubur hidup-hidup. Namun setelah Islam
datang derajat perempuan dangkat, agama islam mengharamkan untuk melakukan
perbudakan terhadap perempuan dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT
melalui Al-Quran, dan AlQuran menyatakan hak Perempuan dan laki-laki itu sama
yang membedakan mereka hanya iman dan taqwa mereka dihadapan Allah.
Daftar Pustaka
Al-Munawar, Said Aqil. 1999. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Jakarta:
JPPR. 1999
A.Hamid Hasan
Qolay, Kunci Indeks dan Klasifikasi Ayat-ayat
Alquran, Jilid I, Bandung: Pustaka, 1989
Afzal-Ur-Rahman. Ensiklopedian Ilmu dalam
Al-Qur’an 2007
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Alih
bahasa oleh Tim LSPPA Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa., 1996
H. Martinis Yamin. Maisah. Orientasi
Baru Ilmu Pendidikan ..Referensi, 2012
Ivan Illich,Gender,diterjemahkan
oleh Omi Intan Naomi dengan judul
Gender,cet. IYogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia
. Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983
Jhon W. Santrock. Adolescence. Alih Bahasa, Dra. Sintho B Adelar M. Sc
Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2003
M Qurash Shiha . Wawasan
al-Quran Tentang Pokok-Pokok
Keimanan 1996
M. Qurash Shihab.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan. 2002
Mansour Fakih. Analisis gender & transformasi social. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Maggie.
Humm, Ensiklopedia Feminisme . Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002
Mufidah
Ch. Paradigma
Gender . Malang: Bayumedia Publishing,
2003
Muhammad Kodori.
Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta: Gema Insani Press 1999
Nasaruddin Umar,
“Demaskulinisasi Epistemologi Keagamaan: Mengkaji Hadis Secara Kritis”, dalam
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih, Yogyakarta:
Pilar Religia, Cet. I. 2005
Raqib, Moh. Pendidikan Perempuan. Cet. I.Purwokerto: Gama Media
Kerjasama STAIN Purwokerti Press. 2003
Syamsuddin arif . Wanita dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban Jakarta: CV Gema Insani,1993
Setda Kota Medan, Buku Saku Pemberdayaan Perempuan Medan , 2000
http://arrahmah.com/read/2012/06/22/21136-kesesatan-paham-menurut-islam.html
Victoria Neufeldt (Ed.), Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New
World Clevenland, 1984
[3] Al-Munawar, Said Aqil. 1999. ―Kepemimpinan Perempuan
dalam Islam, Membongkar Penafsiran Surah An-Nisa Ayat 1‖, dalam Syafiq Hasyim, Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam (Jakarta: JPPR. 1999) h. 17
[4] A.Hamid Hasan Qolay, Kunci Indeks dan
Klasifikasi Ayat-ayat Alquran, Jilid I, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 51-52.
[5]http://arrahmah.com/read/2012/06/22/21136-kesesatan-paham-menurut-islam.html
[6] Jhon W. Santrock. Adolescence. Alih
Bahasa, Dra. Sintho B Adelar M. Sc (Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama, 2003) h.374
[7] Raqib, Moh. Pendidikan
Perempuan. Cet. I.( Purwokerto: Gama Media Kerjasama STAIN Purwokerti
Press. 2003) h. 111
[8]DedeWiliem. Gender Bukan Tabu . Catatan perjalanan
Fasilitasi Kelompok Perempuan Jambi (Bandung : Center For
International Forestry Research) h 13-23
[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265.
[11] Victoria Neufeldt (Ed.), Webster’s New World Dictionary (New
York: Webster’s New World Clevenland, 1984), h. 561.
[12] Setda Kota Medan, Buku Saku Pemberdayaan Perempuan
(Medan: , 2000), h. 1.
[15] Ivan Illich,Gender,diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender,cet. I(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 3.
[16] M Qurash Shiha . Wawasan al-Quran Tentang Pokok-Pokok Keimanan (1996)
[17] M. Qurash Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan. 2002) h 392-393
[19] A.Hamid Hasan Qolay, Kunci Indeks dan
Klasifikasi Ayat-ayat Alquran, Jilid I, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 51-52.
[21] Al-Munawar, Said Aqil. 1999. ―Kepemimpinan Perempuan
dalam Islam, Membongkar Penafsiran Surah An-Nisa Ayat 1‖, dalam Syafiq Hasyim, Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam (Jakarta: JPPR. 1999) h. 17
(Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, Cet. I, 1996) h.
66.
[24] Hamim Ilyas. Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender
dan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), h. 180.
[25] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspertif al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 248-265.
dkk. (Ed.), Wanita dalam Masyarakat
Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga
Press, 2001, h. 40
1999,
h.248-269.
[29] Su’ād Ibrāhīm Sālih. Kedudukan Perempuan
dalam Islam (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001) h. 40.
[31] Syamsuddin arif . Wanita
dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban (
Jakarta: CV Gema Insani,1993) h. 29.
[34] Mansour Fakih. Analisis gender & transformasi social (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) h. 140
[35] Nasaruddin Umar, “Demaskulinisasi
Epistemologi Keagamaan: Mengkaji Hadis Secara Kritis”, dalam Ahmad Fudhaili, Perempuan
di Lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih, (Yogyakarta: Pilar
Religia, Cet. I. 2005) h. 9.
[36] Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di
Hadapan Allah, Alih bahasa oleh Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA-Yayasan
Prakarsa., 1996) h. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar